Selasa, 04 Mei 2010

Lesson Study untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran

Oleh : Akhmad Sudrajat
Abstrak:

Lesson Study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru. Tujuan utama Lesson Study yaitu untuk : (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang bermanfaat bagi para guru lainnya dalam melaksanakan pembelajaran; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif. (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya. Manfaat yang yang dapat diambil Lesson Study, diantaranya: (1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota lainnya, dan (3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study. Lesson Study dapat dilakukan melalui dua tipe yaitu berbasis sekolah dan berbasis MGMP. Lesson Study dilakukan berdasarkan tahapan-tahapan secara siklik, yang terdiri dari: (1) perencanaan (plan); (b) pelaksanaan (do); refleksi (check); dan tindak lanjut (act).

Kata Kunci : lesson study, kolaboratif, plan, do, check, act

A. Pendahuluan

Selama pendidikan masih ada, maka selama itu pula masalah-masalah tentang pendidikan akan selalu muncul dan orang pun tak akan henti-hentinya untuk terus membicarakan dan memperdebatkan tentang keberadaannya, mulai dari hal-hal yang bersifat fundamental-filsafiah sampai dengan hal–hal yang sifatnya teknis-operasional. Sebagian besar pembicaraan tentang pendidikan terutama tertuju pada bagaimana upaya untuk menemukan cara yang terbaik guna mencapai pendidikan yang bermutu dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang handal, baik dalam bidang akademis, sosio-personal, maupun vokasional.

Salah satu masalah atau topik pendidikan yang belakangan ini menarik untuk diperbincangkan yaitu tentang Lesson Study, yang muncul sebagai salah satu alternatif guna mengatasi masalah praktik pembelajaran yang selama ini dipandang kurang efektif. Seperti dimaklumi, bahwa sudah sejak lama praktik pembelajaran di Indonesia pada umumnya cenderung dilakukan secara konvensional yaitu melalui teknik komunikasi oral. Praktik pembelajaran konvesional semacam ini lebih cenderung menekankan pada bagaimana guru mengajar (teacher-centered) dari pada bagaimana siswa belajar (student-centered), dan secara keseluruhan hasilnya dapat kita maklumi yang ternyata tidak banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa. Untuk merubah kebiasaan praktik pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang berpusat kepada siswa memang tidak mudah, terutama di kalangan guru yang tergolong pada kelompok laggard (penolak perubahan/inovasi). Dalam hal ini, Lesson Study tampaknya dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif guna mendorong terjadinya perubahan dalam praktik pembelajaran di Indonesia menuju ke arah yang jauh lebih efektif.

Dalam tulisan ini, akan dipaparkan secara ringkas tentang apa itu Lesson Study dan bagaimana tahapan-tahapan dalam Lesson Study, dengan harapan dapat memberikan pemahaman sekaligus dapat mengilhami kepada para guru (calon guru) dan pihak lain yang terkait untuk dapat mengembangkan Lesson Study lebih lanjut guna kepentingan peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran siswa.

B. Hakikat Lesson Study

Konsep dan praktik Lesson Study pertama kali dikembangkan oleh para guru pendidikan dasar di Jepang, yang dalam bahasa Jepang-nya disebut dengan istilah kenkyuu jugyo. Adalah Makoto Yoshida, orang yang dianggap berjasa besar dalam mengembangkan kenkyuu jugyo di Jepang. Keberhasilan Jepang dalam mengembangkan Lesson Study tampaknya mulai diikuti pula oleh beberapa negara lain, termasuk di Amerika Serikat yang secara gigih dikembangkan dan dipopulerkan oleh Catherine Lewis yang telah melakukan penelitian tentang Lesson Study di Jepang sejak tahun 1993. Sementara di Indonesia pun saat ini mulai gencar disosialisasikan untuk dijadikan sebagai sebuah model dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran siswa, bahkan pada beberapa sekolah sudah mulai dipraktikkan. Meski pada awalnya, Lesson Study dikembangkan pada pendidikan dasar, namun saat ini ada kecenderungan untuk diterapkan pula pada pendidikan menengah dan bahkan pendidikan tinggi.

Lesson Study bukanlah suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi merupakan salah satu upaya pembinaan untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran siswa secara terus-menerus, berdasarkan data. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Slamet Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Sementara itu, Catherine Lewis (2002) menyebutkan bahwa:

“lesson study is a simple idea. If you want to improve instruction, what could be more obvious than collaborating with fellow teachers to plan, observe, and reflect on lessons? While it may be a simple idea, lesson study is a complex process, supported by collaborative goal setting, careful data collection on student learning, and protocols that enable productive discussion of difficult issues”.

Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk : (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para guru lainnya, di luar peserta Lesson Study; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif. (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya.

Dalam tulisannya yang lain, Catherine Lewis (2004) mengemukakan pula tentang ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yang diperolehnya berdasarkan hasil observasi terhadap beberapa sekolah di Jepang, yaitu:

1. Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para guru tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik siswa, pengembangan kemampuan individual siswa, pemenuhan kebutuhan belajar siswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan siswa dalam belajar, dan sebagainya.

2. Materi pelajaran yang penting. Lesson study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran siswa serta sangat sulit untuk dipelajari siswa.

3. Studi tentang siswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan siswa, misalnya, apakah siswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana siswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana siswa melakukan tugas-tugas yang diberikan guru, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara guru dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah.

4. Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan siswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai hal-hal yang detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti.

Berdasarkan wawancara dengan sejumlah guru di Jepang, Caterine Lewis mengemukakan bahwa Lesson Study sangat efektif bagi guru karena telah memberikan keuntungan dan kesempatan kepada para guru untuk dapat: (1) memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan dibelajarkan kepada siswa, (2) memikirkan secara mendalam tentang tujuan-tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan siswa, misalnya tentang arti penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif dan cara berfikir siswa, serta kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan, (3) mengkaji tentang hal-hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar dari para guru lain (peserta atau partisipan Lesson Study), (4) belajar tentang isi atau materi pelajaran dari guru lain sehingga dapat menambah pengetahuan tentang apa yang harus diberikan kepada siswa, (5) mengembangkan keahlian dalam mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran maupun selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran, (6) membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial, dalam arti para guru bisa saling belajar tentang apa-apa yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun keterampilannya dalam membelajarkan siswa, dan (7) mengembangkan “The Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa semakin detail dan jelas.

Sementara itu, menurut Lesson Study Project (LSP) beberapa manfaat lain yang bisa diambil dari Lesson Study, diantaranya: (1) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (2) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (3) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, manfaat yang ketiga ini dapat dijadikan sebagai salah satu Karya Tulis Ilmiah Guru, baik untuk kepentingan kenaikan pangkat maupun sertifikasi guru.

Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, Slamet Mulyana (2007) mengetengahkan tentang dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. Lesson Study berbasis sekolah dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan. dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan. Sedangkan Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi.

Dalam hal keanggotaan kelompok, Lesson Study Reseach Group dari Columbia University menyarankan cukup 3-6 orang saja, yang terdiri unsur guru dan kepala sekolah, dan pihak lain yang berkepentingan. Kepala sekolah perlu dilibatkan terutama karena perannya sebagai decision maker di sekolah. Dengan keterlibatannya dalam Lesson Study, diharapkan kepala sekolah dapat mengambil keputusan yang penting dan tepat bagi peningkatan mutu pembelajaran di sekolahnya, khususnya pada mata pelajaran yang dikaji melalui Lesson Study. Selain itu, dapat pula mengundang pihak lain yang dianggap kompeten dan memiliki kepedulian terhadap pembelajaran siswa, seperti pengawas sekolah atau ahli dari perguruan tinggi.

C. Tahapan-Tahapan Lesson Study

Berkenaan dengan tahapan-tahapan dalam Lesson Study ini, dijumpai beberapa pendapat. Menurut Wikipedia (2007) bahwa Lesson Study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu : (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do) dan (3) Refleksi (See). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam Lesson Study, yaitu:

1. Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri guru yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study.

2. Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada siswa sebagai hasil dari Lesson Study.

3. Plan the Research Lesson: guru-guru mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para siswa akan merespons.

4. Gather Evidence of Student Learning: salah seorang guru tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran siswa.

5. Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar siswa

6. Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuan-temuan yang ada.

Untuk lebih jelasnya, dengan merujuk pada pemikiran Slamet Mulyana (2007) dan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA), di bawah ini akan diuraikan secara ringkas tentang empat tahapan dalam penyelengggaraan Lesson Study

1. Tahapan Perencanaan (Plan)

Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran.

2. Tahapan Pelaksanaan (Do)

Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer)

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya:

1. Guru melaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama.

2. Siswa diupayakan dapat menjalani proses pembelajaran dalam setting yang wajar dan natural, tidak dalam keadaan under pressure yang disebabkan adanya program Lesson Study.

3. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan mengganggu konsentrasi guru maupun siswa.

4. Pengamat melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama.

5. Pengamat harus dapat belajar dari pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru.

6. Pengamat dapat melakukan perekaman melalui video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses pembelajaran.

7. Pengamat melakukan pencatatan tentang perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas belajar siswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar siswa yang tercantum dalam RPP.

3. Tahapan Refleksi (Check)

Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guru yang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun.

Selanjutnya, semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guru yang bersangkutan). Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya. Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi.

4. Tahapan Tindak Lanjut (Act)

Dari hasil refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran indiividual, maupun menajerial.

Pada tataran individual, berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para guru, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik.

Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh guru dan siswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Lesson Study merupakan salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.

2. Tujuan Lesson Study adalah : (1) memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana siswa belajar dan guru mengajar; (2) memperoleh hasil-hasil tertentu yang bermanfaat bagi para guru lainnya dalam melaksanakan pembelajaran; (3) meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif. (4) membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang guru dapat menimba pengetahuan dari guru lainnya.

3. Ciri-ciri dari Lesson Study yaitu adanya: (a) tujuan bersama untuk jangka panjang; (b) materi pelajaran yang penting; (c) studi tentang siswa secara cermat; dan (d) observasi pembelajaran secara langsung

4. Lesson study memberikan banyak manfaat bagi para guru, antara lain: (a) guru dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (b) guru dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (c) guru dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study

5. Penyelenggaraan Lesson Study dapat dilakukan dalam dua tipe: (a) Lesson Study berbasis sekolah; dan (a) Lesson Study berbasis MGMP.

6. Lesson Study dilaksanakan berdasarkan tahapan-tahapan secara siklik, meliputi : (a) tahapan perencanaan (plan); (b) pelaksanaan (do); (c) refleksi (check); dan (d) tindak lanjut (act).

Sumber Bacaan

Bill Cerbin & Bryan Kopp. A Brief Introduction to College Lesson Study. Lesson Study Project. online: http ://www.uwlax.edu/sotl/lsp/index2.htm

Catherine Lewis. 2004. Does Lesson Study Have a Future in the United States?. Online: http://www.sowi-online.de/journal/2004-1/lesson_lewis.htm

Lesson Study Research Group online: http://www.tc.edu/lessonstudy/whatislessonstudy.html

Slamet Mulyana. 2007. "Lesson Study" (Makalah). Kuningan: LPMP-Jawa Barat

Wikipedia. 2007. Lesson Study. Online: http://en.wikipedia.org/wiki/Lesson_study

Sabtu, 06 Maret 2010

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAAN SISWA KELAS I SD DENGAN METODE MUELLER

Seva Andini Kusnawanto

 
Abstrak
Salah satu aspek pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang memegang peran penting adalah membaca, khususnya membaca permulaan. Pada sisi lain, pentingnya pengajaran membaca permulaan pada anak diberikan sejak usia dini ini juga bertolak dari kenyataan bahwa masih terdapat sebelas juta anak Indonesia dengan usia 7 – 8 tahun tercatat masih buta huruf (Infokito, 2007). Selain itu, menurut laporan program pembangunan 2005 PBB tentang daftar negara berdasarkan tingkat melek huruf, Indonesia masih berada pada peringkat 95 dari 175 negara. Pada sisi lain, berdasarkan hasil observasi awal diketahui bahwa kemampuan membaca permulaan siswa kelas I SDN Leminggir I rendah yang disebabkan oleh metode pembelajarannya yang kurang menarik bagi siswa. Berdasarkan kenyataan tersebut peneliti melakukan upaya perbaikan pembelajaran dengan menerapkan metode Mueller, yaitu metode pembelajaran membaca permulaan yang memanfaatkan benda-benda konkret yang berada di sekitar anak yang diwujudkan ke dalam kegiatan bermain. Dengan penerapan metode tersebut diharapkan dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I SDN Leminggir I. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif berjenis penelitian tindakan kelas, hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kemampuan membaca permulaan rata-rata sebesar 12,5%. Bahkan, kalau dikaitkan dengan SKM yang dipatok sekolah (85%), hasil evaluasi Silklus II menunjukan pencapaian ketuntasan belajar sampai 90%. Hal ini membuktikan bahwa metode Mueller cocok diterapkan dalam pembelajaran membaca permulaan pada siswa kelas I SDN Leminggir I

 
Kata kunci : Membaca permulaan, Metode Mueller.

 
Bahasa memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa dan merupakan penunjang keberhasilan dalam memelajari semua bidang studi. Menyadari peran yang demikian, pembelajaran bahasa diharapkan dapat membantu siswa mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartsipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut, dan menemukan serta menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif yang ada dalam dirinya (Depdiknas, 2006:317). Pembelajaran Bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesastraan masyarakat Indonesia (Depdiknas, 2006:231).

 
Dalam kebijakan pendidikaan kita, Bahasa Indonesia diajarkan sejak anak usia dini. Hal ini disebabkan pengajaran tersebut dapat memberikan kemampuan dasar berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Salah satu aspek pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar yang memegang peran penting adalah membaca, khususnya membaca permulaan. Membaca permulaan merupakan kegiatan awal untuk mengenal simbol-simbol fonetis (Arifin, 2004:11). Pada sisi lain, pentingnya pengajaran membaca permulaan pada anak diberikan sejak usia dini ini juga bertolak dari kenyataan bahwa masih terdapat sebelas juta anak Indonesia dengan usia 7 – 8 tahun tercatat masih buta huruf (Infokito, 2007). Selain itu, menurut laporan program pembangunan 2005 PBB tentang daftar negara berdasarkan tingkat melek huruf, Indonesia masih berada pada peringkat 95 dari 175 negara.

 
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru kelas di SDN Leminggir I diperoleh informasi tentang kondisi kemampuan membaca siswa di beberapa tingkatan kelas. Berdasarkan informasi tersebut diketahui masih ada beberapa siswa di kelas 4, 5, dan 6 (kelas tinggi) yang membacanya masih dengan cara mengeja. Hal ini tampak pada nilai siswa pada aspek membaca yang tidak mencapai standar kelulusan. Padahal, pada tingkatan kelas tersebut seharusnya kemampuan membaca siswa tidak lagi hanya mengenali tulisan tapi mulai memaknai dan memahami arti tulisan, sebagaimana dikatakakan Slamet (2007:42) bahwa siswa yang duduk di kelas 4 sampai dengan kelas 2 SMP membaca tidak lagi pada pengenalan tulisan tetapi pada pemahaman.

 
Mengetahui adanya kondisi tersebut peneliti mencoba mendeteksi apa penyebab ketidaktercapaian tujuan pembelajaran membaca di SDN Leminggir. Dari hasil observasi diketahui bahwa ketidaktercapaian tujuan tersebut antara lain disebabkan kurang menariknya pembelajaran membaca permulaan di kelas rendah, khususnya kelas 1 dan minimnya kreativitas guru menciptakan pembelajaran yang menyenangkan. Guru menggunakan metode yang kurang menarik minat siswa untuk belajar membaca. Guru langsung mengajak siswa untuk membaca buku teks. Menurut pengamatan peneliti, metode pembelajaran semacam ini dianggap kurang efektif dan mengakibatkan hasil belajar siswa kurang maksimal.

 
Dalam pembelajaran membaca permulaan, ada beberapa metode yang dapat digunakan, antara lain: (1) metode SAS, (2) metode abjad dan metode bunyi, (3) metode kupas rangkai suku kata, (4) metode kata lembaga, dan (5) metode global (Slamet, 2007:62). Berpijak pada keberhasilan metode-metode tersebut peneliti mencoba menerapkan metode baru yang dikembangkan oleh Stephanie Mueller untuk meningkatkan kemampuan membaca permulaan di SD Leminggir I. Metode ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca permulaan karena dapat meningkatkan kemampuan motorik, intelegensi, dan kemandirian anak. Menurut Mueller (2006:7), pengajaran membaca permulaan sebaiknya diajarkan sejak dini dengan cara mengenalkan tulisan-tulisan yang konkret yang sering ditemukan dalam dunia anak. Metode ini dikemas dengan pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan motivasi siswa untuk belajar membaca.

 
Dalam penerapannya, Metode Mueller ini sesuai dengan pembelajaran kontekstual atau sering disebut dengan Contextual Teaching and Learning (CTL), yaitu strategi pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi siswa. Tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual yang ditawarkan dan diidentifikasi dalam strategi CTL terdapat pula dalam metode Mueller.

 
Berdasarkan pertimbangan dan informasi dari guru tersebut, peneliti merasa perlu melakukan penelitian mengenai pembelajaran membaca di kelas I SD dengan fokus penelitian pada “Peningkatan Kemampuan Membaca Permulaan Siswa Kelas I SD dengan Metode Mueller pada Pembelajaran Bahasa Indonesia SDN Leminggir I Kecamatan Mojosari Kabupaten Mojokerto”.

 
METODE

 
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), yaitu bentuk penelitian praktis yang dilaksanakan oleh guru untuk menemukan solusi dari permasalahan yang timbul di kelasnya agar dapat meningkatkan proses dan hasil pembelajaran di kelas (Dasna, 2007:2). Bisa juga dikatakan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama (Arikunto, 2007:3). Penetapan jenis pendekatan ini didasarkan pada tujuan bahwa peneliti ingin mendeskripsikan kompetensi siswa di kelas, terutama deskripsi tentang peningkatan kemampuan membaca permulaan di kelas I SDN Leminggir .

 
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan alasan (1) penelitian ini berupaya untuk melakukan inovasi terhadap kegiatan pembelajaran di kelas, (2) pelaksanaan penelitian tindakan kelas tidak mengganggu tugas pokok seorang guru, (3) penelitian tindakan kelas sangat kondusif untuk membuat guru menjadi peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelas. Kegiatan penelitian ini dimulai dengan kegiatan orientasi dan observasi terhadap latar penelitian yang meliputi latar SD sasaran, guru, siswa dan kegiatan belajar mengajar membaca permulaan di sekolah tersebut. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini secara garis besar dilaksanakan dalam empat tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi (Arikunto, 2007:16). Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah siklus atau kegiatan berulang. “Siklus” inilah yang sebetulnya menjadi salah satu ciri utama dari penelitian tindakan kelas. Dengan demikian, penelitian tindakan kelas tidak terbatas dalam satu kali intervensi saja, tetapi berulang hingga mencapai ketuntasan yang diharapkan (Arikunto, 2007).

 
Lokasi penelitian ini bertempat di SDN Leminggir, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Subjek penelitian adalah siswa kelas 1 Tahun Pelajaran 2008 – 2009 yang berjumlah 14 siswa: 7 siswa perempuan dan 7 siswa laki-laki. Dipilih SDN Leminggir karena (1) berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas I ternyata yang bersangkutan mengalami kesulitan dalam pembelajaran membaca permulaan, (2) pembelajaran membaca dan menulis permulaan masih menggunakan metode tradisional dan belum menggunakan metode Mueller, dan (3) kemampuan membaca dan menulis siswa kelas I masih sangat rendah, walaupun sudah berjalan satu semester.

 
Data dalam penelitian ini berupa data kualitatif dan data kuantitaif. Data kualitatif berupa catatan lapangan, hasil wawancara, dan foto, sedangkan data kuantitaf berupa skor yang diperoleh siswa. Adapun sumber data adalah peneliti, guru kelas 1 dan siswa kelas 1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa RPP, lembar kerja siswa, lembar obsevasi, dan instrumen pengukuran kemampuan membaca permulaan siswa.

 
Berikut prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini. Obsevasi atau pengamatan dilakukan sebelum pemberian tindakan dan pada saat pemberian tindakan. Pada penelitian ini, observasi pada saat pembelajaran berlangsung dilakukan berdasarkan lembar observasi. Lembar obsevasi ini digunakan untuk menilai kemampuan mengajar guru (APKG 2). Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Dalam penelitian ini nara sumbernya adalah kepala sekolah, dewan guru dan guru kelas I khususnya, dan siswa kelas I. Data yang didapatkan meliputi kondisi dan latar belakang sekolah, kemampuan membaca siswa secara global, kegiatan pembelajaran, dan respon siswa terhadap pembelajaran dengan metode Mueller. Catatan lapangan merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dan dialami, dalam rangka pengumpulan data dan refleksi terhadap data. Catatan lapangan ini berisi hasil pengamatan yang diperoleh peneliti selama pemberian tindakan berlangsung. Dalam penelitian ini, untuk mengukur kemampuan membaca siswa dilakukan tes membaca. Tes membaca pada saat tindakan adalah siswa diminta membacakan pengalamannya di depan kelas berdasarkan lembar kerja yang diberikan. Dalam penelitian yang dilaksanakan, selain data berupa catatan tertulis juga dilakukan pendokumentasian berupa foto. Foto ini dapat dijadikan sebagai bukti otentik bahwa pembelajaran benar-benar berlangsung.

 
Analisis data penelitian ini dilakukan dengan melalui tiga tahap, yaitu pengolahan data, paparan data, dan penyimpulan data. Pengolahan data dilakukan dengan cara mengelompokkan data menjadi dua kelompok, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Data kuantitatif dianalisis dengan cara memprosentase, kemudian hasil prosentase dinyatakan atau dipaparkan dalam kalimat kuantitatif. Data kualitatif dianalisis dengan cara membuat skor terhadap item-item yang perlu diberi skor. Kemudian memprosentase, hasil prosentase ditafsirkan dalam bentuk kalimat kuantitatif dan disimpulkan ke dalam bentuk kalimat deskriptif.

 
Penggunaan metode Mueller dikatakan berhasil dan dapat meningkatkan ketrampilan membaca dan menulis, jika hasil belajar atau ketuntasan belajar siswa minimal 80 dan ketuntasan belajar kelompok atau kelas mencapai 85%. Jika target ketuntasan ini belum tercapai, maka penggunaan metode Mueller perlu diperbaiki.

 
HASIL

 
Studi pendahuluan dilakukan pada tanggal 13 Oktober 2008 di SDN Leminggir I yang terletak di Desa Leminggir, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto. Studi ini dilakukan untuk menggali informasi dari beberapa guru tentang kondisi sekolah dan kemampuan membaca di SDN Leminggir I. Hasilnya, peneliti memperoleh informasi mengenai kondisi sekolah, latar belakang pendidikan guru, dan jumlah siswa yang belajar di SDN Leminggir. Selain itu, diketahui juga kemampuan membaca siswa dari kelas rendah dan kelas tinggi. Peneliti mendapat informasi bahwa di kelas tinggi masih ada beberapa siswa yang kemampuan membacanya masih mengeja dan terbata-bata, dan hal ini berdampak pada hasil belajarnya secara keseluruhan.

 
Berdasarkan kegiatan observasi tersebut, kemudian peneliti mencoba untuk mendekati guru kelas rendah, khususnya di kelas 1. Peneliti menggali informasi tentang kegiatan pembelajaran membaca permulaan di kelas 1. Dalam kegiatan pembelajaran guru sudah menerapkan pembelajaran tematik sebagaimana yang disarankan oleh kurikulum 2006 (KTSP). Pada hari berikutnya, Selasa, 14 Oktober 2008, peneliti mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas dan mencoba mengamati pembelajaran membaca permulaan yang dilakukan guru di kelas. Di awal kegiatan guru menyuruh siswa untuk membuka buku tematiknya, kemudian bersama-sama membaca teks yang ada di buku tersebut, dan dilanjutkan anak membaca teks tersebut satu-persatu di depan kelas. Kegiatan tersebut membuat anak yang belum bisa membaca merasa kesulitan untuk mengikuti pelajaran dan akhirnya anak memilih beraktivitas yang lain daripada mengikuti pelajaran. Saat itu tampak, misalnya, Anto (siswa yang belum bisa membaca) terlihatt asyik menggambar di buku tematiknya, sedangkan Nur memainkan penghapusnya sebagai mobil-mobilan sambil tetap menirukan suara guru membaca teks, beberapa siswa lain juga dengan malas-malasan mengikuti pelajaran hari itu.

 
Setelah mengamati kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru, peneliti dan guru saling bertukar pikiran tentang permasalahan yang dialami guru saat mengajar di kelas. Guru merasakan bahwa minat belajar membaca siswa kelas I rendah. Guru sendri menyatakan bahwa pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam membaca. Sebanyak 35,7% siswa masih membaca dengan mengeja dan terbata-bata, 35,7% siswa sudah mulai dapat membaca dengan tidak terbata-bata namun masih mengeja, dan 28,5% siswa sudah mulai dapat membaca dengan lancar.

 
Upaya untuk membantu guru dalam menanggulangi permasalahan tersebut adalah peneliti memberikan saran agar guru agar menggunakan metode pembelajaran lain dari yang biasa dilakukan guru di kelas tersebut sehingga siswa menjadi tertarik dan semakin aktif dalam pembelajaran membaca. Saat pertemuan tersebut peneliti mencoba menawarkan metode membaca yang diciptakan oleh Stephanie Mueller. Hasil diskusi menyepakati bahwa guru ingin menerapkan metode Mueller dalam pembelajaran membaca permulaan.

 
Sebagai langkah awal (sebelum melakukan tindakan) peneliti bersama guru merencanakan pembelajaran Bahasa Indonesia dengan mengembangkan aspek keterampilan membaca. Kegiatan diawali dengan memilih, menata, dan merepresentasikan materi pelajaran membaca dengan menggunakan metode Mueller. Pemilihan tema sesuai dalam KTSP, tema yang dipilih yaitu tempat umum. Tema ini dipilih dengan alasan cakupan materinya cukup luas, yaitu mengenal tempat-tempat umum, menjaga kebersihan, hidup sehat, saling menghormati, dan menjaga ketertiban. Standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan metode Mueller tersebut dipresentasikan ke dalam bentuk RPP untuk memudahkan guru melaksanakan tahapan pembelajaran. Bahan baca yang digunakan adalah tulisan yang ada dalam kemasan produk yang sering dijumpai anak. Dalam rangka mengumpulkan kemasan bekas produk, tiga hari sebelum pelaksanaan tindakan, guru menugaskan siswa untuk mengumpulkan kemasan bekas yang dijumpai di rumah. Benda-benda yang dikumpulkan siswa, ditata guru di belakang ruangan kelas menyerupai supermarket.

 
Siklus I dilaksanakan dalam dua pertemuan. Pertemuan pertama dilakukan pada hari Senin 04 November 2008, pada jam pelajaran ke-1 sampai jam ke-3 (07.00 – 08.45). Pembelajaran diawali dengan salam, berdo’a bersama, dan presensi. Kemudian, guru bertanya pada siswa tentang puskesmas, dan menyampaikan hal-hal yang termasuk tempat-tempat umum. Guru tampak membuka pelajaran dengan santai dan menarik perhatian siswa. Siswa tampak antusias menjawab pertanyaan guru dengan serentak. Namun, saat melakukan tahapan-tahapan pembelajaran tersebut guru tampak masih sering membaca RPP yang diletakkan di meja. Selanjutnya, guru membacakan bacaan yang berjudul sebuah teks. Kemudian, guru menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan bersama-sama. Guru menjelaskan tata cara berbelanja di supermarket, juga apa saja yang disiapkan sebelum berbelanja, yaitu membuat daftar belanja. Guru membimbing siswa untuk membuat daftar belanja. Guru membuat daftar belanja di papan tulis dan meminta siswa untuk menyalinnya di lembar kerja mereka. Guru membagi siswa menjadi empat kelompok, selanjutnya guru membuat undian untuk menentukan urutan kelompok mana yang melakukan kegiatan belanja lebih dulu. Siswa bergiliran melakukan praktek pergi berbelanja di supermarket yang berada di sudut supermarket yang sudah di siapkan oleh guru.

 
Dari kegiatan berbelanja tersebut secara tidak langsung anak melakukan kegiatan membaca kata dan memperoleh makna dari kata yang dibaca. Oleh karena itu, tampak sekali siswa yang sudah bisa membaca dengan lancar dan yang belum bisa membaca. Siswa yang kemampuan membacanya lancar dengan mudah dia memperoleh produk yang sesuai dengan daftar belanja yang telah mereka buat. Sementara itu, siswa yang masih belum lancar kemampuan membacanya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencari produk yang dia butuhkan. Selain itu, dengan kegiatan ini siswa tampak antusias mengikuti aktivitas ini. Mereka dengan tidak sabar menunggu giliran untuk berbelanja. Siswa yang sudah melakukan kegiatan berbelanja diminta guru untuk kembali ke tempat duduknya sesuai dengan kelompoknya masing-masing dan menata barang belanjaannya di meja. Setelah semua siswa melakukan kegiatan berbelanja, guru mengajak siswa untuk menuliskan hasil belanjanya di kolom “Hasil Belanjaanku” di Lembar Kerja 1. Kemudian siswa diminta membacakan hasil belanjanya di depan kelas dengan nyaring.

 
Pada pertemuan kedua, Kamis 06 November 2008 pada jam pelajaran ke-1 sampai jam ke-3 (07.00 – 08.45), pembelajaran diawali dengan salam, do’a, dan presensi. Guru mengulas pembelajaran yang dilakukan sebelumnya. Kegiatan berikutnya adalah memilih salah satu barang belanjaan yang disukainya dan berusaha untuk mendeskripsikannya sesuai dengan kondisi benda. Kegiatan ini dimaksudkan anak lebih mengenali banyak ragam tulisan dan kata yang ada dalam kemasan produk tersebut, selain nama produknya. Guru membagikan Lembar Kerja 2 dan menjelaskan cara mengerjakannya. Kemudian, dilanjutkan dengan menceritakan pengalaman berbelanja dengan bantuan mengisi Lembar Kerja 3. Siswa diminta membacakan cerita di depan kelas secara bergilir. Pada tahapan ini guru melakukan penilaian terhadap kemampuan membaca anak dengan menggunakan pedoman penilaian metode Mueller.

 
Setelah siklus I dilakukan, peneliti melakukan refleksi. Refleksi yang terkait dengan siswa didasarkan pada hasil pengamatan ketika pembelajaran berlangsung. Bahkan, ketika pembelajaran selesai, peneliti mencoba bertanya kepada para siswa bagaimana pendapat mereka tentang pembelajaran dengan menggunakan metode Mueller. Apakah mereka merasa senang dengan kegiatan yang dilakukan, dan apakah siswa memperoleh kemudahan dalam belajar membaca. Pada umumnya siswa mengatakan bahwa mereka senang dengan kegiatan belajar sambil bermain, dan mereka juga merasa senang belajar membaca dari tulisan yang sering mereka jumpai. Selain itu, peneliti juga memperoleh temua bahwa beberapa siswa mengalami kesulitan saat membaca nama produk yang menggunakan ejaan bahasa asing, seperti “lifebuoy”, “frisian flag”, dan “beyond water”. Mereka mengatakan bahwa mereka tahu kalau itu sabun Lifebuoy, tapi mereka bingung mengatakannya ketika mengetahui tulisan yang tidak sama dengan yang mereka dengar.

 
Berdasarkan hasil observasi dan hasil refeleksi pada siklus I, terutama kekurangan-kekurangan yang ditemukan dalam proses pembelajaran maupun dalam menyusun rencana pembelajaran, diperbaiki dalam siklus II. Siklus II ini direncanakan dalam 2 pertemuan, masing-masingnya terdiri dari 3 x 35 menit, dan menggunakan tema yang sama, namun materi yang disampaikan tidak sama. Materi yang disampaikan pada siklus II adalah mengenal stasiun. Seperti halnya pada siklus I, kompetensi dasar dan materi yang akan disampaikan, dipresentasikan dalam bentuk RPP.

 
Sebelum melaksanakan pembelajaran, guru dan peneliti menyiapkan tulisan di sekitar yang sering dijumpai di stasiun. Guru juga mempertimbangkan tulisan yang dipilih adalah tulisan yang menggunakan ejaan Bahasa Indonesia. Tulisan-tulisan tersebut di antaranya adalah loket, tempat sampah, ruang kepala stasiun, jadwal keberangkatan kereta, ruang tunggu, warung, wartel, toilet, dan musholla. Tulisan-tulisan itu kemudiaan diketik dalam font yang besar dan ditempel di beberapa sisi kelas dan juga dibuat font kecil untuk kartu kata. Setiap sisi yang ada tempelan kata disertakan juga kartu kata yang sesuai dengan kata yang tertempel. Tempelan kata pada dinding kelas berfungsi juga sebagai stasiun atau pos. Jadi, pada kegiatan ini direncanakan siswa akan melakukan kegiatan mengelilingi kelas dan berhenti di tiap-tiap pos untuk membaca kata yang ada di pos tersebut.

 
Siklus II dilaksanakan dalam dua pertemuan. Pertemuan pertama dilaksanakan pada Rabu, 19 November 2008, pada jam pelajaran pertama sampai jam pelajaran ketiga (07.00 – 08.45). Pembelajaran diawali dengan berbaris di pintu kelas, guru memberi salam, mengajak berdoa bersama, dan presensi. Pada pertemuan kali ini sengaja siswa tidak masuk kelas langsung, pelajaran diawali di depan kelas. Kemudian, guru bertanya pada siswa tentang siapa yang pernah naik kereta api. Guru menjelaskan sekilas tentang tata cara ketika ingin naik kereta api, yaitu harus mengetahui jadwal keberangkatan kereta yang akan ditumpangi, membeli tiket, dan harus tertib saat membeli tiket. Setelah itu, guru menyampaikan kegiatan yang akan mereka lakukan bersama-sama, yaitu berkeliling dengan kereta api untuk mengumpulkan kata. Guru menjelaskan aturan bermainnya. Pertama, setiap siswa harus berpegangan dengan teman di depannya seperti sebuah kereta. Kedua, siswa harus mengumpulkan kata yang ditemui sepanjang perjalanan mengitari kelas. Ketiga, guru membagikan kaleng untuk tempat mengumpulkan kata yang mereka jumpai dalam selama dalam perjalanan. Selanjutnya, siswa memulai melakukan perjalanan dengan diawali melihat jadwal perjalanan pada kegiatan ini guru mengajak siswa untuk membaca jadwal keberangkatan bersam-sama. Kemudian, siswa membeli tiket kereta sesuai tujuan yang diinginkan. Saat membeli tiket guru bertanya pada siswa mereka mau pergi ke mana dan harus naik kereta apa. Pada kegiatan ini tampak sekali siswa yang memperhatikan dan siswa yang bisa membaca, dengan siswa yang tidak memperhatikan dan tidak bisa membaca. Siswa yang bisa membaca dan memperhatikan, dapat dengan mudah menjawab pertanyaan guru saat membeli tiket.

 
Selanjutnya, siswa melakukan perjalanan dengan menyanyikan lagu Naik Kereta Api. Siswa berhenti pada setiap pos yang telah ditentukan. Satu per satu siswa harus membaca kata yang ada pada pos tersebut. Bagi siswa yang bisa membaca, guru memberikan kartu kata untuk dimasukkan dalam kaleng yang mereka bawa. Sementara salah satu siswa membaca kata yang ada, siswa yang lain mengantri di belakanya dan yang di depan menunggu di depannya dengan tetap berpegangang tangan dan terus menyanyikan lagu Naik Kereta Api. Setelah melakukan perjalanan, mereka duduk di tempat duduknya masing-masing. Guru meminta siswa untuk menata kata yang diperoleh di atas meja masing-masing. Kemudian, guru membagikan dan menjelaskan Lembar Kerja 1 dan Lembar Kerja 2. Siswa menuliskan kata-kata yang mereka peroleh ke dalam Lembar Kerja. Dengan kegiatan tersebut siswa membaca ulang kata yang ditemukan untuk ditulis ke Lembar Kerja yang mereka peroleh. Kemudian, siswa diminta membacakan hasil temuannya di depan kelas secara bergiliran.

 
Pertemuan kedua dilaksanakan pada Kamis, 20 November 2008 jam ke-1 sampai dengan jam ke-3 (07.00 – 08.45). Pembelajaran diawali dengan salam, doa, dan presensi. Guru membagikan kembali Lembar Kerja 1 dan 2 beserta kaleng yang berisi temuan kata. Kemudian, guru dan siswa mengulas kata-kata dan menjelaskan fungsi tempat-tempat yang ditemukan dalam perjalanan yang dilakukan dalam pembelajaran sebelumnya. Dengan kegiatan ini siswa memperoleh makna dari tulisan-tulisan yang mereka temui. Selanjutnya guru membagikan Lembar Kerja 3 dan menjelaskan cara mengerjakannya. Setelah selesai siswa mengerjakannya, guru meminta siswa satu-persatu menceritakan pengalaman di stasiun berdasarkan Lembar Kerja 3. Guru menutup kegiatan pembelajaran dengan memberikan dorongan agar siswa-siswa terus belajar membaca mulai dari tulisan yang ada di sekitar kita dan buku-buku yang mereka miliki. Pada pertemuan kedua ini guru melakukan penilaian terhadap kemampuan membaca permulaan siswa.

 
Pada siklus II siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik dari tahap ke tahap. Mareka sangat antusias dari awal pembelajaran hingga akhir pembelajaran. Siswa tidak ada yang mengeluh dengan tulisan yang mereka jumpai. Hampir semua siswa dapat membaca kata-kata yang ditemukan. Mereka tampak gembira ketika mendapat satu kata dari guru saat mereka bisa melafalkan kata yang ditemuinya. Hal ini tampak dari hasil wawancara peneliti kepada siswa. Perasaan senang dan tidak mengalami kebingungan pada kata-kata yang sering dijumpai berpengaruh terhadap perolehan nilai mereka. Pada siklus II guru dapat menggunakan waktu sesuai dengan waktu yang dialokasikan di RPP. Guru tampak merasa nyaman dan percaya diri saat melakukan tahapan-tahapan pembelajaran. Hal ini tampak ketika guru tidak lagi bolak-balik membaca RPP untuk melakukan tahapan pembelajaran selanjutnya. Guru melakukan tahapan pembelajaran dengan santai tanpa merasa terbebani dengan RPP. Hal ini tampak ketika guru melakukan improvisasi saat tahapan yang dilalui tidak sama dengan RPP sehingga tujuan pembelajaran yang diharapkan tetap tercapai. Guru pun mampu menjelaskan setiap instruksi dengan jelas sehingga siswa tidak kebingungan. Guru juga mampu mengkondisikan siswa ketika dalam pembelajaran ada siswa yang gaduh dan menganggu temannya.

 
PEMBAHASAN

 
Pengembangan RPP Pembelajaran Membaca Permulaan di Kelas I SD dengan Menggunakan Metode Mueller.

 
Penerapan pembelajaran yang kurang variatif dalam proses pembelajaran membaca permulaan akan mengurangi semangat belajar siswa. Pembelajaran membaca permulaan di SDN Leminggir selama ini kurang menarik minat siswa untuk belajar karena pembelajaran hanya berfokus pada buku teks. Padahal, anak usia kelas I SD masih berada pada masa senang bermain (Hurlock, 1978:324). Mueller (2006:11) mengungkapkan bahwa mengajarkan anak membaca dibutuhkan strategi yang sesuai dengan dunia anak yaitu bermain; dengan kata lain belajar dengan suasana yang menyenangkan. Untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, Mueler memanfaatkan tulisan di sekitar anak sebagai alat pengembang kemampuan belajar membaca permulaan. Pemanfaatan tulisan di sekitar dipadukan dengan berbagai aktivitas. Dalam setiap aktivitas (kegiatan pembelajaran), Mueller menyarankan agar guru atau pembimbing mempersiapkan materi dan bahan yang diperlukan dalam setiap kegiatan. Tulisan-tulisan tersebut hendaknya disesuaikan dengan lingkungan anak (Mueller, 2006:15).

 
Berdasarkan temuan yang diperoleh, guru sudah melaksanakan persiapan materi dan bahan. Persiapan awal, yang dilakukan guru adalah memahami hakikat metode Mueller, kemudian memilih aktivitas yang sesuai dengan tema pembelajaran saat tindakan berlangsung. Aktivitas yang dipilih guru adalah menghubungkan tulisan di sekitar kita dengan permainan drama, blok, bangunan, papan pengumuman, rumah dan sekolah. Selanjutnya, untuk memudahkan guru dalam kegiatan pembelajaran, langkah-langkah kegiatan pembelajaran dengan metode Mueller direpresentasikan ke dalam RPP. RPP tersebut memuat standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator berdasarkan KTSP, dan materi yang disampaikan pada kegiatan awal, kegiatan inti, dan penutup. Semuanya ditata runtut dan terpadu, lengkap dengan media apa saja yang harus disiapkan dan lembar kerja yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa.

 
Kegiatan pembelajaran membaca permulaan dengan metode Mueller diawali dengan mengenalkan kata dan huruf yang menyusunnya melalui tulisan-tulisan di sekitar siswa. Pada penelitian ini, tindakan yang diberikan pada siklus I adalah siswa diajak membaca tulisan pada kemasan sebuah produk dengan aktivitas toko kebutuhan sehari-hari, sedangkan siklus II siswa membaca tulisan yang ditemui di stasiun dengan aktivitas pelajaran berkeliling kota.

 
Sesuai dengan tema yang dipilih pada siklus I dan II, persiapan yang dilakukan guru adalah mengumpulkan kemasan berbagai macam produk yang sering dijumpai anak dan mengumpulkan tulisan-tulisan yang dijumpai di stasiun. Pada saat mengumpulkan kemasan berbagai macam produk, guru melibatkan siswa dengan cara menyuruh anak-anak membawa kemasan produk dari rumah. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Mueller (2006:8), bahwa dalam rangka mengungkapkan tulisan di sekitar hendaknya melibatkan anak. Selain itu, guru juga meminjam berbagai macam kemasan pada sudut belanja yang dimiliki kelas 3 dan 4. Setelah kemasan produk yang dibutuhkan cukup, guru menatanya seperti di supermarket sesuai dengan klasifikasi tertentu. Pada siklus II guru membuat beberapa kartu kata yang berhubungan dengan kata yang sering dijumpai di stasiun, membuat tiket, dan membuat jadwal keberangkatan kereta api. Penelitian ini membuktikan bahwa pemilihan materi, metode yang sesuai dan penataan rencanaan pelaksanaan pembelajaran yang baik memudahkan guru untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, proses belajar mengajar dapat berjalan dengan lancar dan hasil yang diperoleh pun maksimal.

 
Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Permulaan di Kelas I SD dengan Menggunakan Metode Mueller.

 
Psikolog Jean Piaget (dalam Mueller, 2006:7) mengungkapkan bahwa pertumbuhan kognitif bergerak dari yang konkret ke yang abstrak. Begitu pula perkembangan kemampuan membaca dan menulis. Kemampuan baca-tulis anak berawal dari tulisan-tulisan yang konkret dan yangsering ditemukan di dunia anak, seperti pada mainan kesukaannya, simbol-simbol pada tempat makanan, serta buku bergambar (Mueller, 2006:7). Oleh karena itu, dalam penelitian ini penelti mencoba untuk menggunakan metode Mueller untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa.

 
Hasil temuan yang di peroleh dalam siklus I menunjukkan bahwa pembelajaran membaca permulaan dengan menggunakan metode Mueller ini dapat meningkatkan kemampuan membaca pemulaan siswa, juga dapat menumbuhkan semangat siswa untuk belajar membaca. Hal ini tampak pada nilai yang diperoleh siswa ada peningkatan dibandingkan sebelum adanya tindakan pembelajaran dengan metode Mueller. Namun, pada pembelajaran ini belum bisa dikatakan mencapai hasil maksimal, karena ketuntasan belajar kelas belum mencapai 85%, yaitu masih 78%. Pada tahap refleksi ditemukan beberapa hal yang menyebabkan ketuntasan kelas tidak bisa tercapai. Hal tersebut di antaranya adalah (1) guru merasa canggung saat pembelajaran karena guru belum terbiasa menggunakan metode Mueller, (2) beberapa instruksi yang diberikan guru untuk siswa kurang jelas sehingga siswa kebingungan dan bertanya-tanya pada guru yang berakibat kelas gaduh, (3) pengorganisasian waktu kurang sehingga tindakan pada siklus I ada penambahan waktu 15 menit, dan (4) beberapa siswa merasa kesulitan membaca saat menemukan produk yang namanya menggunakan ejaan bahasa asing, misalnya Lifebouy.

 
Temuan yang di peroleh pada siklus II adalah (1) guru sudah tampak nyaman melaksanakan pembelajaran; (2) guru tampak menjelaskan materi dan tahapan-tahapan kegiatan dengan jelas sehingga waktu dapat dimanfaatkan dengan baik dan maksimal karena guru tidak perlu menjelaskan berulang-ulang; (3) siswa tidak mengalami kesulitan membaca kata-kata yang ditemukan karena kata-kata yang dipilih merupakan kata-kata yang menggunakan ejaan bahasa Indonesia. Adanya perubahan tersebut berpengaruh juga terhadap kemampuan membaca siswa. Tampak sekali perubahan pada perolehan nilai. Perubahan tersebut juga berpengaruh pada ketuntasan hasil belajar kelas yang bisa mencapai 90%.

 
Melihat tahapan-tahapan kegiatan yang dilakukan guru dan hasilnya, tampak bahwa metode Mueller sesuai dan cocok untuk diterapkan pada pembelajaran membaca permulaan di SD. Adanya kesesuaian tersebut karena guru merancang pembelajaran metode Mueler ini dilandaskan pada perkembangan bahasa anak, sebagaimana yang diungkakan Mueller (2006:17) bahwa perkembangan bahasa anak usia kelas I SD meliputi, (1) membaca dan menceritakan kembali cerita dan sajak yang sudah dikenal; (2) membaca dan menulis cerita, daftar, catatan, dan lain-lain; (3) menggunakan strategi membaca, seperti, membuat perkiraan, pertanyaan, dan membaca ulang untuk mengenali teks; (4) membaca beberapa teks dengan diucapkan; (5) mencari arti kata-kata baru dengan menggunakan hubungan antar huruf dan bunyi, bagian kata, dan konteksnya.

 
Kegiatan pembelajaran membaca permulaan dengan metode Mueller ini pun mampu menumbuhkan semangat belajar membaca anak. Anak tampak antusias mengikuti tahapan-tahapan kegiatan yang diberikan. Anak juga merasa tidak bosan, mereka tampak gembira saat mengikuti setiap kegiatan. Perubahan ini juga tampak pada kemampuan membaca anak. Beberapa siswa yang sebelumnya membaca dengan mengeja dan terbata-bata, setelah adanya tindakan dengan metode Mueller siswa-siswa tersebut dapat membaca tanpa mengeja dan tidak terbata-bata. Hal ini tampak pada perubahan nilai yang diperoleh anak dalam kemampuan membaca dan hasil interview dengan siswa setelah melaksanakan tindakan.

 
Penilaian Pembelajaran Membaca Permulaan di Kelas I SD dengan Menggunakan Metode Mueller.

 
Penilaian (assessment) adalah proses untuk mendapatkan berbagai informasi secara berkesinambungan dan menyeluruh tentang proses dan hasil belajar yang telah dicapai siswa. Hasil penilaian ini dapat dijadikan dasar untuk menentukan tindakan/pelakuan selanjutnya (Tarigan, 2003:226). Slamet (2007: 112) berpendapat bahwa evaluasi merupakan alat untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan.

 
Untuk meningkatkan pembelajaran membaca permulaan dengan metode Mueller digunakan penilaian dengan teknik tes unjuk kerja. Pelaksanaan penilaian pembelajaran membaca permulaan dilaksanakan secara perseorangan. Tes yang digunakan adalah tes buatan guru. Materi tes yang diberikan disesuaikan dengan indikator pencapaian dalam metode Mueller. Sebagaimana yang diungkapkan Slamet (2007:106), tes ini dimaksudkan untuk menilai sampai dimana penguasaan siswa terhadap pembelajaran membaca permulaan dengan metode Mueller, dan juga menetapkan apakah seorang berhasil mencapai sekumpulan tujuan pembelajaran atau tidak.

 
Tes yang dilakukan guru ini juga disesuaikan dengan perkembangan anak usia SD. Seperti yang diungkapkan Mueller (2006:17), perkembangan bahasa anak usia kelas I SD meliputi (1) membaca dan menceritakan kembali cerita dan sajak yang sudah dikenal; (2) membaca dan menulis cerita, daftar, catatan, dan lain-lain; (3) menggunakan strategi membaca, seperti, membuat perkiraan, pertanyaan, dan membaca ulang untuk mengenali teks; (4) membaca beberapa teks dengan diucapkan; dan (5) mencari arti kata-kata baru dengan menggunakan hubungan antar huruf dan bunyi, bagian kata, dan konteksnya

 
Apabila diperhatikan, hasil evaluasi pada Siklus I menunjukkan pencapaian ketuntasan belajar kelas hanya 78%, yang berarti ketuntasan kelas belum tercapai. Hal ini berarti juga bahwa pembelajaran membaca dengan metode Mueller pada Siklus I belum bisa menunjukan hasil yang maksimal. Untuk itu, guru dan peneliti mencari penyebab ketidaktuntasan tersebut. Setelah dilakukan refleksi dan diketahui faktor penyebab kelemahan pada Siklus I, dilakukanlah rancangan perbaikan tindakan lanjutan pada Siklus II yang dikemas dalam RPP. Akhirnya, hasil evaluasi Silklus II menunjukan pencapaian ketuntasan belajar 90%, yang berarti ketuntasan kelas tercapai secara maksimal karena melebihi SKM yang telah dipatok sekolah, yaitu 85%.

 

 
SIMPULAN DAN SARAN

 
Kesimpulan

 
Guru telah melaksanakan persiapan sebelum melakukan tindakan, yaitu menginterpretasikan materi pembelajaran dengan metode Mueller dalam bentuk RPP. Guru juga menyiapkan benda-benda yang dibutuhkan dalam pembelajaran dengan melibatkan siswa seperti halnya yang disarankan Mueller.

 
Peningkatan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I dengan metode Mueller ini dilakukan guru dengan menggabungkan beberapa aktivitas dalam metode Mueller. Untuk memudahkan siswa, guru menggunakan tulisan dengan ejaan Bahasa Indonesia, dan guru juga melakukan tahapan-tahapan pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan anak seperti yang diutarakan Mueller.

 
Adanya peningkatan kemampuan membaca permulaan diketahui dari kemampuan siswa saat melafalkan tulisan pada lembar kerja yang yang diberikan. Beberapa siswa yang sebelumnya membaca dengan mengeja, setelah diberi tindakan pembelajaran dengan metode Mueller mengalami kemajuan. Perubahan juga dapat dilihat dari tumbuhnya antusias dan semangat anak untuk mengikuti tahapan-tahapan pembelajaran.

 
Hasil evaluasi menunjukkan ada peningkatan kemampuan membaca siswa kelas I. Hal itu dapat dilihat dari nilai yang diperoleh ketika siswa membacakan hasil kerjanya. Pencapaian ketuntasan hasil belajar kelas meningkat dari 78% pada siklus I menjadi 90% pada siklus II.

 
Saran

 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Mueller dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa kelas I. Oleh karena itu, metode ini dapat dijadikan salah satu pilihan dalam pembelajaran membaca permulaan yang menyenangkan. Peneliti lain dapat memanfaatkan metode ini dengan memvariasikan aktivitas yang berbeda, yang disesuaikan dengan kondisi perkembangan dan lingkungan siswa, sebab metode Mueller menawarkan begitu banyak pilihan aktivitas.

 
Penelitian ini menggunakan subjek kelas kecil. Apabila pada penelitian sejenis menggunakan subjek sasaran kelas besar akan lebih baik. Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa metode Mueller dikembangkan tidak hanya untuk pembelajaran di kelas kecil.

 

 
DAFTAR RUJUKAN
  1. Adler, Mortimer J. 2007. How to Read a Book. Jakarta: PT. Indonesia Publishing.
  2. Anwar, Khairil. 1997. Pelaksanaan Latihan Membaca Permulaan di Sekolah Dasar Negeri Kotamdya Banjarmasin. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
  3. Arifin, Samsul. 2004. Penggunaan Metode Motessori dalam Pengajaran Membaca Pemulaan di TK Palm Kids. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
  4. Arikunto, Suharsimi. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT. Bumi Aksara
  5. Dasna, I Wayan. 2007. Penelitian Tindakan Kelas dan Karya Ilmiah. Malang: BPSG.
  6. Depdikbud. 1991/1992. Petunjuk Teknis Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdikbud.
  7. Depdiknas. 2006. Model Penilaian Kelas KTSP SD/MI. Jakarta: Depdiknas
  8. Depdiknas. 2006. Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) : SD kelas I – IV. Jakarta: Depdiknas.
  9. Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
  10. Goodchild, Rachel. 2004. The Joy of Reading. Jakarata: PT Elex Media Komputindo
  11. Harris A.J dan Edward R. Sipay. 1980. How to Increase Reading Ability. New York : Longman
  12. Hurlock. 1978. Perkembangan Anak: Jilid I. Jakarta: Erlangga.
  13. Ibrahim, dkk. 2000. Media Pembelajaran. Malang: Universitas Negeri Malang
  14. Moleong, L.J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
  15. Mueller, Stephanie. 2006. Panduan Belajar Membaca Jilid 1 dengan Benda-benda di Sekitar Kita untuk Anak usia 3-8 Tahun. Jakarta: Erlangga for Kids.
  16. Mueller, Stephanie. 2006. Panduan Belajar Membaca Jilid 2 dengan Benda-benda di Sekitar Kita untuk Anak usia 3-8 Tahun. Jakarta: Erlangga for Kids.
  17. Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
  18. Pattiha, Hawa. 2006. Penerapan strategi Think-Pair-Share dalam Meningkatkan Pelaksanaan Pembelajaran Membaca Permulaan pada Siswa Kelas II SDN Sumbesari II Malang. Thesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang
  19. Rahim, Farida. 2007. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
  20. Slamet, St. Y. 2007. Dasar-dasar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Dasar. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press.
  21. Soedarso. 2001. Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  22. Sulistyarini, Dian. 2007. Peningkatan Pembelajaran Membaca dan Menulis Permlaan dengan Menggunakan Media Kotak Ajaib sebagai Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif dan Menyenangkan) pada Siswa Kelas I SD Negeri Jatra Timur Banyuates Sampang. Skiripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang
  23. Tarigan, Djago. 2003. Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di Kelas Rendah. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
  24. Vacca, Jo Anne. 1991. Reading and Learning to Read. New York: Harper Collins Publisher.
  25. Wardani, I GAK. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Universitas Terbuka.
  26. Wiriaatmadja, Rochiati. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
  27. Wiryodijoyo, Suwaryono. 1989. Membaca Strategi Pengantar dan Tekniknya. Depdikbud.
  28. Yus, Anita. 2006. Penilaian Portofolio Untuk Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.